Rumah Adat Rejang Lebong |
CURUP TOP - Menguak Misteri Sejarah Tanah Rejang Bagian 1. Berdasarkan berbagai teori sosiologi, antropologi, arkeologi telah mengajarkan kepada kita bahwa Peradaban manusia itu selalu berawal dari kehidupan sekelompok manusia dipesisir pantai atau sungai, selanjutnya berkembang menjadi komunitas masyarakat yang semula homogen, lalu berubah menjadi heterogen dalam suatu masyarakat yang lebih besar.
Tulisan "Menguak Misteri Sejarah Tanah Rejang Bagian 1" ini dimaksudkan untuk mengungkapkan kembali perjalanan anak negeri Lu-Shiangshe yang mengakukan dirinya sebagai kelompok masyarakat suku Rha-hyang atau Ra-Hyang atau Re-Hyang atau Re-jang. Chung Ku-o inilah yang pertama kali menamakan dirinya dengan sebutan kata Rejang pada 185 - 254 tahun Imlek atau 186 - 117 Caka atau 264 - 195 sebelum Masehi (sM), dan Chung Ku-o Jen (untuk sebutan orang China) yang tiba pada 224 – 233 tahun Imlek atau 147 - 138 Caka atau 225 - 216 sM mengaku dirinya sebagai suku Rejang Lebong.
[Baca juga : Legenda Ular Kepala 7 Di Dasar Danau Tes Lebong]
Kata Rejang diambil dari akar kata Rha-Hyang atau Ra-Hyang (Dewa yang maha berkuasa). Kata Ra-Hyang selanjutnya mengalami evolusi bahasa, dan berubah menjadi kata Re-Hyang atau Re-jang. Kata Rejang dalam bahasa Sangsekerta (Sanskrit) dapat diartikan “penyembahan kembali” (Maksudnya orang yang sudah lama meninggalkan kepercayaannya dan kembali taat menyembah Dewa).
Kata Rejang ini juga tidak jelas, apakah ada hubungannya antara nama etnik tersebut dengan nama sungai Rejang dan suku Rejang yang berada di Kalimantan, atau suku Rejang yang berada di negeri Birma, Thailand, Malaysia, atau tari Rejang dari Bali. Negeri Lu-Shiangshe diperkirakan atau setidak-tidaknya hampir bersamaan dengan keberadaan negeri Andripura (Indrapura), Maco (Muko-moko), Tapan (Nampan), dan Ippeoh . Negeri-negeri ini telah ada sejak lama di pesisir pantai barat Pulau Sumatera.
Kata Rejang tidak saja sekadar menunjukkan nama suatu etnis yang mendiami sebuah negeri di pesisir barat pantai Bengkulu, tetapi juga sekaligus menunjukkan adanya aktifitas yang pernah dikerjakan penduduk yang mendiami daerah di pesisir pantai tersebut. Komunitas pertama yang tiba dan membangun negeri Lu-Shiangshe (Bengkulu) itu adalah penambang-penambang emas dan batu mulia yang pandai dan gigih.
Negeri Emas
Sejarah budaya Bengkulu adalah sama tuanya dengan keberadaan negeri-negeri pertama yang ada di tanah Bengkulu. Dalam Buku "Sejarah Maritim Indonesia" yang diterbitkan Dewan Maritim Indonesia (DMI) Tahun 2004, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, yang ditulis Hakim Benardie menyebutkan, bahwa antara tahun 264 – 195 sebelum Masehi (sM) telah ada negeri yang bernama LU-SHIANGSHE. Kata ini dalam terjemahan bebasnya berarti negeri Sungai Harum atau Sungai Kejayaan atau Sungai yang memberi kehidupan / harapan atau Sungai Emas, Negeri LU-SHIANGSHE dalam naskah kuno India menyebutnya dengan negeri Kerajaan Emas di Yavadha (Pulau Sumatera). Negeri ini terletak dipesisir barat Pulau Sumatera. Chung Ku-o Jen (untuk sebutan orang China) ini berasal dari negeri Hyunan (China daratan), menggunakan bahasa Mon. Bahasa inilah yang banyak menyebar keberbagai negeri di Thailand, Birma, Kamboja dan sebagian Korea.
Pada 697 – 706 tahun Imlek atau 147 - 138 Caka atau 225 - 216 sM, di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara (sekarang) semakin ramai dengan datangnya eksodus ke-II Hyunan ke- negeri Lu-Shiangshe. Namun negeri Lu-Shiangshe ini mengalami pralaya (Musibah akibat bencana badai dan gelombang laut setinggi 11,4 meter), disusul dengan gempa berkekuatan 9,2 skala richter yang meluluh lantakkan negeri ini pada tahun 198 Masehi. Masyarakat Bengkulu menyebutnya negeri itu dengan kata Lusang. Sekarang kita hanya mengenal nama sungai Lusang, suatu daerah yang terdapat di penambangan emas di Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara.
Musibah pada tahun 198 Masehi juga dialami di negeri Phalimbham dan Phanaitan pesisir selatan Provinsi Banten. Sejarah Maritim menyebutkan hampir semua penduduk yang berada dipesisir Provinsi Banten bagian selatan, pesisir Bandar Lampung dan negeri Lu-Shiangshe di Bengkulu mengalami bencana gelombang laut dan gempa yang dahsyat tersebut, sehingga banyak menelan korban jiwa. Kisah bencana dahsyat di negeri Phalimbham dan Phanaitan di Provinsi Banten ini, disebut-sebut sebagai “Nusa Larang” terletak di daerah Gunung Tiga dalam prasasti Batu Tulis Bogor oleh dinasti Purana (Baca: Purnawarman). Sejarah menyebutkan, sebagian penduduk yang selamat mengungsi ke negeri Kalapa (Jakarta sekarang). Sedangkan di Lu-Shiangshe (Bengkulu) penduduk yang selamat mendirikan negeri yang mereka sebut Pa-U’ (Pauh) dan Pa-Liu (Palik).
Negeri Pa-U’
Chung Ku-o yang selamat dari pralaya negeri Lu-Shiangshe pada tahun 749 Imlek atau 198 M, berjumlah 171 Kepala Keluarga (KK). Mereka mendirikan Perkampungan yang disebut Pa-U’ (Dalam bahasa daerah disebut Pauh) pada tahun 750 Imlek atau 199 M, di daerah pesisir pantai Pasar Pedati hingga Pondok Kelapa sekarang, hingga pesisir pantai arah Selatan (Kota Bengkulu sekarang). Chung Ku-o ini nampaknya terdiri dari dua marga yang besar yaitu marga Tan sebanyak 86 KK, dan Marga Lie sebanyak 85 KK.
Dalam naskah klasik disebutkan bahwa di negeri Pa-U’ ada tempat perniagaan (pasar), dan sebuah pelabuhan perahu layar yang aman dari terpaan badai dan gelombang. Daerah ini terlindung oleh sebuah pulau dan beberapa pulau kecil lainnya. Perahu dagang dari Enggano dan lainnya banyak singgah dan berniaga disana. Penduduk negeri Pa-Liu juga berniaga dan berbelanja disana.
Dalam naskah China klasik, sebuah buku catatan pelayaran “Shiangshiang K’un–Lun” hal 158 ditulis 757 tahun Imlek, atau atau tahun 308 Masehi menceritakan adanya negeri Pa-U’ (Di Bengkulu). Negeri itu katanya ditutupi sebuah pulau (Negeri dibelakang sebuah pulau) yang banyak disinggahi kapal-kapal layar (Perahu layar) yang berasal dari berbagai negeri. Perdagangannya sangat maju dengan menggunakan alat tukar emas. Disebelah negeri itu terdapat negeri Pa-Liu yang banyak menghasilkan kerbau dan babi.
Bangsa China menyebut orang Indonesia (Di Nusantara) ini dengan kata K’un – Lun”, karena etnis Indonesia memiliki ciri-ciri budaya yang sama dengan China misalnya; dibidang pembuatan sawah dan irigasi, pemeliharaan ternak kerbau dan babi, juga menggunakan peralatan logam yang sama dan sederhana. Aspek kekeluargaan dan kemasyarakatan mengutamakan kekerabatan dan peranan wanita dari pihak ibu. Aspek religius, kepercayaan animisme, pemujaan terhadap leluhur dan dewa bumi, mendirikan tempat-tempat pemujaan didataran tinggi, penguburan mayat dalam tempayan atau batu besar (Kuburan batu). Kesamaan inilah diantaranya yang menyebabkan etnis China menyebut orang di nusantara ini dengan kata K’un – Lun”. Naskah kelasik India yang ditulis oleh Brasta Simaa tahun 146 Caka atau 224 Masehi, juga menceritakan tentang adanya negeri yang bernama Lu-Shiangshe di Yavadha (Pulau Sumatera). Perniagaan di negeri ini menggunakan alat tukar emas. Penduduknya terdiri dari etnis China (Chung Ku-o Jen), India termasuk Srilangka, banyak beragama Hindhu dan Bhuddha. Mata pencariannya adalah mendulang emas, batu mulia serta bertani. Rainam Khaporr, seorang Khan-Khaan (saudagar) India Selatan menceritakan tentang adanya negeri Lu-Shiangshe dalam sebuah bukunya “Menuju Samudra” (Menuju Nusantara) ditulis tahun 175 Caka atau 253 Masehi. Negeri itu hancur ditelan gelombang badai. Laporan atau catatan-catatan pelayaran tidak saja dijadikan informasi dalam penyunan buku sejarah, tetapi catatan pelayaran juga banyak digunakan dalam pembuatan peta-peta kelasik suatu daerah atau tempat di dunia ini ketika itu. Catatan pelayaran juga digunakan dalam pengembangan ekonomi nasional suatu bangsa ketika itu.
Pa-Liu
Chung Ku-o bermarga Tan sebanyak 86 KK itu selanjutnya mendirikan perkampungan baru sendiri pada tahun 755 tahun Imlek atau 204 M. Setelah bergabung dengan marga Lie di Pa-U’, dan negeri yang baru ini diberi nama Pa-Liu (Palik sekarang) meluas kearah utara yaitu Desa Kandang, Air Besi, Kota Agung, Pal 30 hingga Lais (Nama daerah sekarang). Sedangkan arah selatan Pa-Liu berkembang menjadi Desa Lubuk Tanjung, Selubuk, Talang Kering, Talang Jarang, Air Napal, Kerkap, Tepi Laut, Pasar Bemba, Padang Betuah, Ulu Danau, Tanjung Sakti dan Pondok Kelapa (Berbatas sungai), wilayah yang terletak di Kabupaten Bengkulu Utara sekarang.
Sejak adanya negeri Pa-U’ dan Pa-Liu banyak pendatang / pedagang yang menggunakan kata (istilah) Rejang untuk menyebut anak negeri (Chung Ku-o) Pa-U’ dan Pa-Liu. Aktifitas Chung Ku-o Jen (Rejang) seharinya adalah pendulang emas dan pencari batu mulia yang pandai, handal dan ulet, pertukangan dan pandai emas serta pelaut yang berani (Nelayan). Sedangkan para wanita biasanya melakukan bercocok tanam dan memelihara ternak kerbau dan babi. Seorang pedagang (Khan khaan) India bernama Rafjifni kelahiran Yaffana India 535 Caka atau 613 Masehi, dalam sebuah naskah klasik ”Berlayar Kenegeri Emas” bertuliskan Hindhustan India, ditemukan pada tahun 1328 Caka atau 1406 M di Madura India menyebutkan adanya penduduk etnis China dipesisir barat negeri Bengkulu. Naskah itu hanya menyebutkan adanya negeri disekitar negeri Lu-Shiangshe seperti Pa-U’ dan Pa-Liu, negeri Ippoh dan Maco (Muko-muko). Pada tahun 690 Masehi musibah dahsyat kembali menghantam negeri-negeri Bengkulu (Pa-U’ dan Pa-Liu), sehingga sebagian penduduk mengungsi ke wilayah Indrapura dan Padang Pariaman (Sumatera Barat sekarang). Rejang Pa-U’ (Pauh) umumnya adalah para petani dan nelayan mereka banyak menetap di daerah Padang Pariaman. Sedangkan Rejang Pa-Liu sebagian bertahan di Indrapura dan Kurinci.
Era baru
Lebong Tan-iChung Ku-o Jen pada awalnya hanya mendulang emas dipinggiran sungai dan muara-muara air Ketahun. Pada suatu hari ditemukannya areal pertambangan permanen dan strategis oleh penambang anak dua negeri Pa-U’ dan Pa-Liu pada 772 tahun Imlek atau 211 M. Areal penambangan itu mereka sebut dengan areal pertambangan Lebong Tan-i (Sekarang bernama Lebong Tandai). Kata Tan-i diambil dari akar kata “LU- A(e)BONGSHE TAN-I”, diambil dari bahasa Hyunan klasik. Kata ini dapat dibaca LUABONGSI TAN-I atau LEBONG TAN SATU. Kata LU- A(e)BONGSHE berarti HULU SUNGAI, dan secara leterlijk / harfiah kata ini berarti KAKAK SUNGAI. Sedangkan kata TANDAI berasal dari kata TAN-I (tan-i). Kata I (i) dalam bahasa China adalah menunjukkan angka 1 (satu). Dengan demikian kata TAN-I merupakan kata petunjuk areal penambangan yang pertama (ke-1) ditemukannya lokasi pendulangan emas oleh penduduk negeri LU- SHIANGSHE komunitas suku Rejang. Kata TAN-I (Tan-i) ini juga mengindikasikan adanya nama marga Tan, atau kelompok pemimpin kerja orang pertama yang menemukan areal pertambangan emas Lebong Tandai tersebut. Orang Inggris yang datang kemudian kepertambangan pada abad ke-XVIII menyebut kata TAN-I dengan TAN-AI (ai), dan dengan dialek Rejang Bengkulu, kata itu berubah (Evolusi bahasa) menjadi TANDAI.
Lebong Lie-el
Namun para penambang ini tidak berhenti disitu saja, mereka memburu emas hingga kedaerah pedalaman, hingga ditemukannya pula lokasi penambangan dan pertanian yang lebih baik dari pada Lebong Tan-i. Lokasi penambangan kedua yang mereka temukan adalah LU-A(e)BONGSHE LIE-EL (Lie ke-II) artinya tambang kedua. Lokasi penambangan ini semakin masuk kedaerah pedalaman (kehulu) menuju arah timur Pulau Sumatera (Bukit Barisan dan kaki Gunung Dempo).
Daerah baru yang ditemukan marga Lie sebut dengan Lebong Lie-el. Ada sebagian orang berpendapat bahwa yang dimaksudkan Lebong Lie-el tersebut adalah dua buah lobang penambangan tua yang terletak lebih-kurang 1,5 Km dari Kota Muara Aman, yaitu Lebong-Lebong (Dua buah lobang yang berbentuk kaca mata).
Lebong Lie-el ini selanjutnya oleh keturunan (Chi Au Sen) dan keturunannya lagi (Chi Au Sen Se Pat Tay) menamai dengan kata suku Rejang Lebong. Daerah dimaksud sekarang telah menjadi Kabupaten Lebong dengan Ibukotanya Muara Aman. Jadi jelas, bahwa Rejang Lebong yang dimaksud disini bukan wilayah Rejang Lebong dengan ibukota Curup.
Selain menamai Lebong Lie-el, Chung Ku-o Jen juga menyebut tiga negeri yang mereka katakan dengan Sam-Lak-Kaw (Baca : Ds.Semelako) dan Tsa-Pot-sh’ (Baca : Ds.Tapus). nama-nama negeri ini jauh lebih tua dari prasati Tapus itu sendiri. Ketiga negeri yang mereka sebut A(e)BONG (Baca : Ds. Embong). Angka Sam-Lak-Kaw dan Tsa-Pot-sh’ menunjukkan indikasi tahun didirikannya suatu daerah atau negeri. Nama negeri Sam-Lak-Kaw berangkakan 369, menunjukkan bahwa komunitas Rejang telah mengenal angka tahun Masehi. Jika dihitung dengan tahun Imlek, maka tahun itu seharusnya menunjukkan angka tahun 920 (Imlek). Sementara negeri Tsa-Pot-sh’ berangkakan 384, jika dihitung dengan perhitungan imlek menunjukkan tahun 935 (Imlek). Semuanya ini membuktikan komunitas Rejang Lebong (Lebong Lie-el), tidak semuanya berasal dari negeri Pa-U’ (Pauh) dan Pa-Liu (Palik) Rejang Utara pada tahun itu. Masyarakat Rejang Lebong (Lebong dan Muara Aman) sudah bercampur baur dengan etnis dan Chung Ku-o Jen lainnya.
Komunitas Rejang yang telah banyak berasimilasi dengan berbagai penduduk dan etnis lainnya pada abad ke-IV M, merupakan mayoritas pemeluk agama Hinddhu-Bhuddha (Syncretisme). Perbauran etnik pada pendatang awal (Etnolinguistik) di pesisir barat Bengkulu dengan pendatang (Penambang) di Rejang Lie-el seakan tidak tampak adanya perbedaan secara fisik. Namun dari aspek bahasa, akan tampak adanya perbedaan-perbedaan, terutama dalam pengungkapan nama-nama hari dan nama-nama peralatan (benda) yang digunakan.
Rejang Lebong
Kata REJANG LEBONG itu bila diterjemahkan secara terminology, memiliki arti, Suku atau marga Rejang yang berada di Hulu Sungai. Muara sungai-nya tentu yang dimaksud adalah Lu-Shingshe. Dilihat dari aspek historis geografis yang dimaksud dengan REJANG LEBONG adalah negeri LU-SHIANGSHE Ketahun - Ippoeh), PA-U’ (Pauh), LU- A(e)BONGSHE TAN-I (Lebong Tandai), PA-LIU (Palik), IPPOEH (Ipuh) dan LEBONG LIE-EL (Lebong – Muara Aman), SAM-LAK-KAW (Semelako), TSA-POT-SH’ (Tapus), A(e)BONG (Embong). Dengan kata lain negeri dimaksud adalah wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong yang ada sekarang ini, sedangkan kata Curup dalam bahasa Malayu klasik artinya gemercikan.
Sejak berdirinya negeri Pa-U’ dan Pa-Liu (Rejang), bahasa Chung Ku-o Jen telah bercampur aduk antara bahasa China daratan dengan bahasa China pesisir, dan nantinya juga akan dipengaruhi oleh bahasa China dagang. Bahasa ini akan semakin kompleks dengan terjadinya asimilasi (Perkawinan campur) antara suku/marga. Sebagai contoh kecil yang dapat kita lihat adalah, dalam mereka menggunakan kata hitungan di negeri Rejang Lebong (Lebong Lie-el).
Terkadang mereka menyebut angka satu (1) dengan kata Ce terkadang menggunakan kata i (1) dan it (1). Angka dua (2) terkadang mereka sebut no, dilain kata mereka menyebutnya nyi, el atau liang, dan angka tiga (3) disebut Tsa dilain waktu mereka menyebutnya san atau sam. Begitulah evolusi bahasa yang berkembang dan terjadi ketika masa itu di Bengkulu. Tergantung suku atau marga yang mana lebih dominan dalam komunitas itu.
Aspek Antropologi budaya (Etnolinguistik), di Cina terdapat ± 900 bahasa daerah, di Indonesia terdapat 700 bahasa daerah yang terdiri dari 638 bahasa yang tidak saling dimengerti (Induk bahasa) dan 62 bahasa daerah yang dapat dipahami dan saling dimengerti (dialek Malayu). Sedangkan di India terdapat 179 bahasa yang terbagi dalam 544 bahasa daerah.
Robert von Heine Geldern, seorang sarjana ilmu purbakala berkebangsaan Austria yang mengadakan penelitian tentang “Tanah asal bangsa Austronesier” mengatakan, bahwa nenek moyang bangsa Austronesier selama-lamanya tinggal di daratan Asia Tenggara. Mereka ini mula-mula berasal dari daratan Cina kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi (sM). Kebudayaan beliung batu telah dikembangkan di Cina kira-kira pada 2000 tahun sebelum Masehi. Bangsa yang memiliki kebudayaan ini bergerak ke Asia Tenggara sebelum bangsa Aria menduduki Punjabi di India Utara, dan beliung batu persegi panjang ini banyak kita temukan di Hyunan dan Kansu.
0 Response to "Menguak Misteri Sejarah Tanah Rejang Bagian 1"
Post a Comment