Danau Tes Kabupaten Lebong |
Alkisah, dahulu kala berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Sang Raja mempunyai delapan orang putra. Suatu ketika, Raja Bikau Bermano hendak melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jenggai. Pihak istana kerajaan Kutei Rukam kemudian menyiapkan segala sesuatunya untuk melangsungkan pernikahan semeriah mungkin.Hingga tibalah hari pernikahan Pangeran Gajah Meram dengan Putri Jenggai.
Awalnya upacara pernikahan berjalan lancar. Namun, tiba-tiba saja terjadi sebuah keanehan. Pangeran Gajah Meram dan Putri Jenggai tiba-tiba hilang entah kemana. Saat itu keduanya tengah melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket di tepi Danau Tes. Tidak seorang pun tahu ke mana hilangnya pasangan itu. Hilangnya Putra Mahkota Gajah Meram dan Istrinya Putri Jenggai secara miterius di pemandian kerajaan Aket di tepi Danau Tes menggemparkan isntana kerajaan Kutei Rukam. Mereka memang sedang menjalani upacara mandi berendam di pemandian itu. Upacara itu merupakan salah satu rangkaian upacara pernikahan antara Putra Mahkota kerajaan Kutei Rukam dan Putri Jenggai dari kerajaan Suka Negeri.
[Baca Juga : Menguak Misteri Sejarah Tanah Rejang Bagian 1]
[Baca Juga : Cerita Rakyat Asal Mula Pohon Enau Di Rejang Lebong]
Raja kerajaan Kutei Rukam, raja Bikau Bermano, berinisiatif mengadakan pertemuan darurat. Pertemuan itu dihadiri para petinggi dari kerajaan, bendahara, para hulubalang, dan tujuh orang putranya. Kecemasan tampak jelas di raut wajah sang Raja karena anak dan menantunya hilang tanpa jejak.
"Terima kasih saya ucapkan kepada kalian semua yang sudi menghadiri pertemuan darurat ini. Seperti yang telah kalian ketahui dari kabar yang sudah beredar luas, baik di lingkungan istana maupun di masyarakat luas bahwa Putra Mahkota dan istrinya hilang begitu saja di tepi Danau Tes. Adakah yang dapat memberikan pandangannya mengenai masalah ini?" tanya Raja sambil mengalihkan pendangannya menyapu semua yang hadir di ruang sidang istana. Sang raja sangat berharap ada jalan keluar yang dihasilkan melalui pertemuan itu.
"Maaf, Baginda Raja. Hamba adalah hulubalang yang bertugas bersama tiga orang pengawal kerajaan yang bertanggung jawab menjaga keselamatan Putra Mahkota dan Putri Jenggai. Sementara keduanya berendam,kami berjaga-jaga di depan pemandian. Akan tetapi, hingga matahari tambah tinggi, mereka belum selesai juga. Hambalah yang masuk ke pemandian untuk memastikan keadaan mereka. Hamba sangat terkejut mendapati Putra Mahkota dan Putri Jenggai tidak ada di pemandian, padahal kami yang menjaga diluar tidak mendengar adanya suara keributan. Hamba dan semua pengawal menyusuri tepian danau untuk mencari mereka. Hasilnya seperti yang Baginda Raja ketahui. Putra Mahkota dan Putri Jenggai belum ditemukan hingga kini." jelas hulubalang yang usianya hampir separuh baya.
"Aneh memang. Sampai-sampai penjaga yang dekat di lokasi pemandian pun tidak mendengar sesuatu saat putra dan menantuku menghilang" gumam sang Raja.
"Ampun, Baginda. Hamba ingin menyampaikan pendapat hamba. Mungkin saja, Putra Mahkota dan Putri Jenggai diculik oleh ular raksasa berkepala Tujuh yang menghuni dasar Danau Tes. Pendapat hamba ini didasarkan pada cerita-cerita dari tun tuai (orang tua-tua). Menurut mereka, raja ular itu sangat sakti, licik, kejam dan suka mengganggu beberapa orang yang sedang mandi di Danau Tes. " ujar hulubalang lainnya turut menyumbang pendapatnya.
Mendengar raja ular sakti disebut-sebut, suasana pertemuan menjadi gaduh dan ramai. Masing-masing bercerita tentang keberadaan ular sakti itu kepada orang di samping kanan dan kirinya di ruang rapat itu. Ada yang bercerita tetangganya yang di ganggu, saudara, atau orang penting di desanya. Akan tetapi, tidak satupun dari mereka yang pernah menyaksikannya atau sekeda berurusan langsung dengan raja ular di Danau Tes itu. Mereka salin bertukar kabar burung yang belum jelas kebenarannya. Pada dasarnya, cerita Raja ular yang sakti dan suka mengganggu itu bukanlah halyang baru bagi mereka. Melihat suasana rapat yang gaduh, sang Raja kembali bertatih. Sekejap, para peserta pertemuan langsung terdiam.
"Jika benar apa yang kamu katakan hai Hulubalang, siapakah yang mampu menandingi si Raja ular serta membebaskan Putra Mahkota dan istrinya dari cengkramannya?" ucap baginda Raja kepada semua yang hadir dalam pertemuan itu. Mendengar ucapan sang baginda raja, para peserta pertemuan saling pandang. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang sulit di jawab.
"Maaf Ayahanda, izinkan Ananda pergi ke sarang Raja ular itu untuk menumpasnya dan membawa kakak dan istrinya kembali pulang," ujar putra Bungsu sang Raja yang bernama Gajah Merik.
Sang Raja tidak serta merta mengabulkan keinginan Gajah Merik. Di matanya, putra bungsunya itu sangatlah muda belia. Usianya baru Tiga Belas tahun. Penguasaan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian tidaklah diragukan lagi, tetapi menantang Raja ular yang sakti itu soal lain. Dipandanginya kembali lekat-lekat raut wajah Gajah Merik. Dari sorot matanya, sang Raja melihat semangat yang menggebu-gebu,keberanian yang luar biasa, serta kekerasan hatinya. Tidak sampai hati sang Raja mematikan itu semua hanya karena dia masih sangat belia sehingga tidak di beri izin.
"Maaf Ayahanda. Sekali lagi, izinkanlah hamba menumpas Raja ular itu." Ujar Gajah Merik mengulang perkataannya karena sang baginda tidak segera menanggapi keinginannya.
Sebenarnya, bukan hanya Raja yang terkejut mendengar perkataan putra bungsu, para peserta juga sangat terkejut. Sebab, usianya masih sangat muda, tetapi dialah yang paling berani diantara putra-putra Raja lainnya.
"Baiklah, anakku Gajah Merik. Ayahanda izinkan ananda pergi memerangi Raja ular dan menyelamatkan kakakmu serta istrinya, tetapi ada satu syarat yang harus ananda penuhi. Ananda harus bertapa terlebih dahulu di Tepat Topes selama tujuh hari tujuh malam untuk mendapatkan senjata pusaka sebagai bekal dalam menghadapi kesaktian Raja ular," ujar Raja Bikau Bermano.
"Ananda patuh memenuhi syarat itu, Ayahanda," kata Gajah Merik singkat saja. Tekadnya sudah bulat suhingga syarat yang di lontarkan sang Raja bukanlah suatu hal yang memberatkannya.
"kepala pengawal, siapkan empat pengawal terbaik untuk mengamankan dan mengawal putraku Gajah Merik bertapa di Tepat Topes, titah sang Raja kepada pengawal. Tepat Topes yaitu suatu wilayah di antara Ibu Kota kerajaan Suka Negeri dan kampung Baru.
"Siap Baginda. Hamba akan melaksanakan titah baginda itu dengan sebaik-baiknya," sahut sang kepala pengawal patuh.
Esok harinya, Gajah Merik yang dikawal empat pengawal terbaik kerajaan berangkat ke tempat pertapaan. Tiba di Talang Macan, Gajah Merik memutuskan berpisah dengan para pengawalnya. Dia selanjutnya meneruskan perjalanan ke Tepat Topes dan bertapa disana. Usai menuntaskan tujuh hari tujuh malam bertapanya, Gajah Merik mendapatkan dua senjata pusaka. Senjata pertama adalah sebilah keris yang memiliki kesaktian sebagai penuntun Gajah Merik menyelam ke dasar Danau layaknya berjalan normal seperti di daratan. Senjata kedua adalah sehelai selendang yang dapat berubah wujud menjadi pedang jika diucapkan mantra khusus. Gajah Merik segera turun dari pertapaannya menuju Talang Macan untuk bergabung dengan pengawalnya dan kembali ke istana. Ketika dari kejauhan Gajah Merik sudah melihat para pengawalnya, dia berubah pikiran. Gajah Merik sudah tidak sabar ingin langsung ke tepi Danau Tes sendirian saja. Oleh karena itu, dia menyelam ke sungai Air Ketahun. Tubuhnyapun tidak tersentuh air.
Gajah Merik sampai di Danau Tes tanpa memakan waktu yang lama. Dia langsung terjun ke dasar tempat pemandian kerajaan di tepi Danau Tes. Tepat di dasar danau, Gajah Merik menemukan gerbang istana Raja ular. Gerbang itu dijaga ular-ular besar penjaga istana.
"Heh...siapa kamu? Berani sekali memasuki wilayah Raja ular yang memiliki 7 kepala. Mencari mati, kamu ya?" Bentak ular pengawal garang.
Sesungguhnya, ular pengawal itu kaget bukan kepalang berjumpa anak manusia yang berhasil menyusup ke istana Raja ular yang letaknya ada di dasar danau. Pasti, anak ini memiliki kesaktian yang luar biasa, pikirnya dalam hati.
"Saya Gajah Merik, kalianlah yang mencari mati jika berani menghalangi saya bertemu dengan Rajamu. Rasakan ini," gertak Gajah Merik membalas bentakan ular pengawal. Gajah Merik menyerang para ular pengawal dan berhasil mengalahkan mereka dengan mudah dan hanya dalam 1 pukulan.
Setelah mengalahkan ular pengawal di gerbang istana, Gajah Merik menerobos kedalam istana yang berbentuk gua yang besar dan luas. Sebelum ketempat Raja ular berada, rupanya Gajah Merik harus melalui enam gerbang lagi yang dijaga ketat para ular pengawal yang kuat dan sakti. Gajah Merik berhasil melalui enam gerbang itu dan sampailah ke kediaman Raja ular. Asap tebal menggulung di hadapan Gajah Merik. Seiring menipisnya asap, wujud ular raksasa berkepala tujuh menyeruak. Wujudnya sangat besar suaranya menggema dan menggetarkan dinding-dinding istana, dan sangat menakutkan.
"Rupanya kamu bocah tengik yang berani mengacak-ngacak istanaku. Sudah bosan hidup kamu?!!" ancam Raja ular marah luar biasa.
Suara Raja ular menggelegar, Meneggakkan bulu kuduk bagi yang mendengarkannya. Berhadapan langsung dengan Raja ular raksasa berkepala tujuh tidaklah menyurutkan langkah Gajah Merik. Di acungkanlah keris sakti miliknya sebagai tanda Gajah Merik menantang Raja ular itu berduel dengannya.
"Hei...makhluk terkutuk, saya datang untuk melenyapkanmu dari muka bumi ini sekaligus membawa pulang Kakakku dan istrinya yang telah kau culik dan kau sembunyikan dalam istanamu ini!" teriak Gajah Merik tidak kalah hebat gertakannya kepada wujud ular raksasa di hadapannya.
"ha...ha..lucu sekali ucapanmu itu, bocah tengik.! Aku berjanji akan menyerahkan Kakakmu dan istrinya itu jika kamu dapat menghidupkan kembali para ular penjaga yang telah kau tumpas tadi. dan tentu saja kau harus mengalahkanku," ujar Raja ular meremehkan Gajah Merik.Usai berkata demikian, Raja ular tertawa terbahak-bahak sampai-sampai tubuhnya berguncang-guncang.
"Tertawalah sampai puas, hai Raja ular yang sombong.! Lihatlah ini!," teriak Gajah Merik.
Dikebutkannya selendang yang sedari dari bertengger di bahu kirinya. Dalam sekali kebutan, para ular penjaga yang telah tewas hidup kembali. Melihat kesaktian Gajah Merik yang luar biasa itu, tawa Raja ular terhenti berganti berang. Harga dirinya seperti diinjak-injak oleh seorang anak kecil. Diserangnya Gajah Merik dengan jurus andalannya. Kini, sang Raja ular menyadari dirinya tidak boleh main-main lagi dalam menghadapi Gajah Merik. Perkelahian antara Gajah Merik dan Raja ular berlangsung sangat sengit. Mereka saling serang, saling terjang, dan saling adu kesaktian. Sampailah pada hari kelima, Raja ular mulai terlihat kelelahan. Energinya mulai terkuras, sedangkan Gajah Merik masih tetap prima dan tambah digdaya. Pukulan dan serangan Gajah Merik beberapa kali mengenai sasaran. Pertahanan Raja ular mulai kedodoran disana sini. Sampailah pada puncaknya, Gajah Merik ingin mengakhiri perkelahian yang sangat melelahkan itu. Dimantrainya selendang sihingga berubah menjadi pedang yang mampu mencederai tubuh Raja ular. Raja ular tersurut mundur beberapa langkah ke belakang. Wujudnya bersalin rupa ke wujud sosok manusia. Kaki kirinya terluka parah terkena sabetan pedang. Dilambai-lambaikan kedua tangannya tanda menyerah. Gajah Merik menolong dan mendudukkannya. Raja ular mengaku kalah dan mengatakan suatu tempat dalam istana tempat Putra Mahkota dan istrinya disandera. Gajah Merik bergegas ke tempat yang dimaksud dan berjumpa dengan kakaknya. Sementara itu, Raja ular duduk bersemedi berusaha mengobati lukanya.
Di tempat lain di istana kerajaan Kutei Rukam, Raja dan permaisurinya dilanda kecemasan yang mendalam. Setelah putra sulungnya menghilang, tiada kabar pula tentang putra bungsunya. Seharusnya setelah tujuh hari tujuh malam bertapa, Gajah Merik kembali ke istana, tetapi hingga kini belum kelihatan batang hidungnya. Hingga beberapa hari kemudian, datanglah kabar yang membahagiakan hati dan melegakan. Seorang pengawal berlari tergesa-gesa ingin segera mengabarkan kepada sang Raja, Putra Mahkota Gajam Meram dan istrinya Putra Jenggai, serta Gajah Merik telah muncul ke permukaan Danau Tes dengan selamat. Rupanya setelah bertapa, Gajah Merik langsung ke tempat Raja ular. Setelah sampai kabar gembira itu ke telinga sang Raja, istana disibukkan dengan upacara penyambutan.
Sorak-sorai kemenangan mengiringi langkah Putra Mahkota Gajah Meram dan istrinya Putri Jenggai, serta Gajah Merik menuju istana. Wajah ketiganya sumringah karena telah terbebas dari kungkungan Raja ular. Setibanya di istana, mereka di sambut dengan upacara penyambutan. Peluk cium mewarnai kepulangan mereka. Pada saat yang berbahagia itulah, Raja menobatkan Putra Mahkota Gajah Meram menjadi Raja menggantikan dirinya. Gajah Meram menolak penobatan itu. Menurutnya, adik bungsunyalah yang lebih berhak menjadi Raja.
"Ayahanda, bukanlah ananda berlaku lancang. Gajah Meriklah yang lebih pantas menjadi Raja. Karena dengan jiwa kepahlawanannya, dia memberikan sumbangsih yang besar kepada kerajaan ini serta keberaniannya dapat menyelamatkan ananda dan Putri Jenggai," tutur Gajah Meram dengan penuh bijaksana.
Baginda Raja menyetujui usulan Gajah Meram. Baginda Raja memahkotai dan menobatkan Gajah Merik menjadi seorang Raja. Kemudian, Gajah Merik menunjuk Raja ular yang telah dikalahkannya dan para pengawal nya menjadi hulubalang kerajaan.
Kisah heroik Gajah Merik bertempur dengan Raja ular melahirkan legenda tentang ular raksasa berkepala tujuh sebagai penunggu Danau Tes. Oleh karena itu, hingga kini khususnya masyarakat Lebong selalu menjaga perkataan saat melintasi Danau Tes.
ceritanya bagus dan melegenda.. tapi foto danaunya salah..itu bukan danau tes tapi tebat picung..
ReplyDeletehhhh.. redaksi asalan... main copas aj
ReplyDeleteAsal jepret..... Aneh
ReplyDeleteSmanei nyen o..... Asal poto bae
ReplyDeleteKeren, kisah yang luar biasa
ReplyDelete